TRANSFER PRICING
Dirjen Pajak berkepentingan untuk
memastikan bahwa Wajib Pajak tidak menggunakan transaksi afiliasi dan penetapan
harga atas transaksi tersebut (transfer pricing) sebagai sarana penghindaran
pajak (tax avoidance), karena Transaksi afiliasi tidak selalu mengadopsi
kondisi dan syarat yang berlaku di pasar. Untuk itu Dirjen Pajak akan terus
mengembangkan program untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak pada saat
melakukan transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, sehingga :
1.
Transfer
pricing yang dilakukan oleh wajib pajak sesuai dengan prinsip kewajaran (arm’s
length principle)
2.
Metodologi
transfer pricing yang digunakan oleh wajib pajak sesuai dengan peraturan yang
berlaku dan praktik usaha yang lazim yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa;
3.
Wajib
pajak yang bersangkutan dan perusahaan afiliasinya telah membayar pajak sesusai
dengan proporsi fungsinya dalam transaksi; serta
4.
Mendokumentasikan
penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dalam penentuan harga
transaksinya. Untuk itu wajib pajak yang melakukan transaksi afiliasi wajib
menyiapkan dokumentasi yang memadai untuk membuktikan bahwa transfer
pricing yang dilakukan telah sesuai dengan arm’s length
principle (membuat TP Documentation).
DEFINISI TRANSFER
PRICING
Menurut Charles T.Hongren :
“Transfer price is the price one subunit
(department or division) charges for product or service supplied to another
subunit of the same organization”
Dr. Gunadi :
“Transfer pricing adalah penentuan harga atau
imbalan sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, atau pengalihan teknologi
antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dan suatu rekayasa manipulasi
harga secara sistematis dengan maksud mengurangi laba artifisial, membuat
seolah-olah perusahaan rugi, menghindari pajak atau bea di suatu negara”
Dirjen Pajak :
“Penetapan harga atas transaksi penyerahan
barang berwujud, barang tidak berwujud, atau penyediaan jasa antar pihak yang
memiliki hubungan istimewa (transaksi afiliasi)”
Dari
definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa transfer pricing adalah hal
yang wajar dalam dunia usaha (definisi netral), namun menurut Prof. Dr. Gunadi
(mantan direktur pemeriksaan pajak) transfer pricing mempunyai konotasi negatif
sebagai suatu praktik bisnis yang tidak baik, yaitu pengalihan atas penghasilan
kena pajak (taxable income) dari suatu perusahaan yang dimiliki oleh
perusahaan multinasional ke negara-negara yang tarif pajaknya rendah dalam
rangka untuk mengurangi total beban pajak dari grup perusahaan multinasional
tersebut.
PENTINGNYA ISU
TRANSFER PRICING DAN BAGAIMANA MENGANTISIPASINYA
Di
jaman globalisasi ini, dimana negara Indonesia adalah menjadi bagian dari
perekonomian global, hal ini dibuktikan dengan masuknya Indonesia dalam G-20,
APEC, WTO dan lainnya, transfer pricing menjadi issu yang penting baik bagi
Wajib Pajak maupun otoritas pajak. Karena ketentuan transfer pricing pada
akhirnya akan menentukan negara mana yang berhak untuk memajaki laba yang
dihasilkan oleh perusahaan yang menjalankan usahanya di lebih dari satu negara.
Menurut
OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) bahwa
sekitar 60% dari transaksi perdagangan dan keuangan lintas negara (cross
border transaction) dilakukan antar perusahaan dalam suatu kelompok
perusahaan multinasional, maka menurut Dirjen Pajak dapat disimpulkan bahwa
diperkirakan besaran transaksi afiliasi adalah sekitar 60% dari transaksi
lintas negara yang terjadi di Indonesia. Sehingga konsekwensi logisnya, Dirjen
Pajak sebagai otoritas pajak di Indonesia, menentukan sikap dan posisi untuk
merespons perkembangan tersebut dengan menganggap issu tansfer pricing adalah
issu yang sangat penting, khususnya terkait dengan aspek perpajakan dari
transaksi afiliasi. Hal ini dibuktikan dengan membentuk satuan khusus transfer pricing
sejak tahun 2007 dan sudah membekali pemeriksa pajak sebanyak 1.000 orang
dengan pengetahuan transfer pricing, sedangkan menurut menkeu 2.000 orang.
Selain itu Dirjen Pajak telah menempatkan intel di beberapa negara tax haven
country.
Dari sudut pandang Dirjen Pajak, tidak
diragukan lagi bahwa tansfer pricing sangat berpengaruh terhadap penerimaan
pajak negara. Berdasarkan perhitungan Dirjen Pajak dinyatakan bahwa negara
berpotensi telah kehilangan 1.300 Triliun Rupiah akibat dari praktik tranfer pracing.
Bahkan lebih dipertegas lagi menurut informasi internal Dirjen Pajak bahwa
kehilangan tersebut kebanyakan akibat adanya pembayaran Bunga, Royalti serta
Intragroup Service, sehingga Dirjen Pajak percaya bahwa dengan menyetop
pembayaran tersebut negara sudah tidak perlu menambah hutang lagi.
Wajib Pajak menganggap penting issu tansfer
pricing adalah dibuktikan dengan hasil survey E&Y terkait transfer pricing
untuk tahun 2007 yang dipublikasikan pada bulan Februari 2008. Di bawah ini
adalah kutipan asli dari hasil survey tersebut :
·
39%
of all respondents identified tansfer pricing as the most important tax issue
facing their group, more than any other tax issue.
Table hasil survey E&Y consultant :
No.
|
Tax Issues
|
Percentage
|
1.
|
Transfer
Pricing
|
39%
|
2.
|
Tax Planning
|
32%
|
3.
|
Double Taxation
|
9%
|
4.
|
Value Added Tax
|
8%
|
5.
|
Tax Controversy
|
6%
|
6.
|
Customs Duties
|
3%
|
7.
|
Foreign Tax
Credit
|
3%
|
TOTAL
|
100%
|
·
74%
of parent and 81% of subsidiary resondents believe that transfer pricing will
be “absolutely critical” or “very important” to their organizations over the
next two years.
·
65%
of parent respondents believe that transfer pricing documentation is more
important now than it was two years ago,
·
2/3
of parent respondents have experienced an increased need for transfer pricing
resources in the last three years, with 74% meeting this needs through
increased reliance on external advisors
Dari poin-poin hasil survey tersebut
tidak bisa dipungkiri bahwa isu transfer pricing bagi wajib pajak sangat
benting. Dari poin terakhir hasil survey tersebut menyebutkan bahwa terdapat
2/3 dari total responden telah menyiapkan sumber daya manusia khusus untuk
menangani masalah transfer pricing. Hasil survey ini telah diketahui juga oleh
Dirjen Pajak, maka dengan fakta itu juga Dirjen Pajak berkepentingan untuk
menyiapkan segala perangkat baik SDM, sarana dan satuan khusus untuk menangani
masalah tansfer pricing.
Fakta
lain yang men-challenge DirjenPajak untuk menganggap isu transfer itu menjadi
sangat penting adalah adanya statement dari konsultan pajak kelas dunia yang
terdapat dalam pedoman transfer pricing PriceWater Coopers, bahwa “The
Indonesian tax authorities cannot be considered a sophistcated tax authority
from a transfer pricing perspective” (international tansfer pricing
2008, PwC, page 410).
Selain itu transfer pricing menjadi
penting bagi wajib pajak karena setiapWajibPajak yang mempunyai transaksi
afiliasi diwajibkan mengisi form 3A atau 3B pada SPT badannya, sehingga dari
isian form ituDirjenPajak akan mudah mengetahui adanya transaksi transfer
pricing yang nantinya akan dijadikan bahan pemeriksaan. Meskipun sejak tahun
1993 keharusan itu telah ada, namun mulai tahun 2009 keharusan itu menjadi
penting karena format isian form 3A atau 3B lebih detail dan memaksa wajib pajak
lebih transparan dalam menginformasikan transfer pricing.
Seperti telah diketahui umum bahwa
mulai tahun 2007 Dirjen Pajak telah membenahi diri secara total berkaitan
dengan pembenahan sumber daya manusia, penegakan hukum di internal dirjen
pajak, pembenahan peraturan dan teknologi informasi. Semua itu akan
menggiringWajibPajak untuk mau tidak mau harus menjalankan seluruh kewajiban
perpajakannya secara benar, sehingga wajib pajak tidak ada celah lagi untuk
mengelak dari kewajiban perpajakan.
Dari
segi dasar hukum yang berkaitan dengan transfer pricing telah diperkuat dengan
masuknya klausul metode penentuan harga transfer pricing dalam batang tubuh
Undang-undang PPh, padahal dulunya klausul tersebut hanya terdapat dalam Surat
Edaran Pajak. Dasar hukum tersebut ditambahkan dalam UU PPh no 36 pasal 18 ayat
3, yang bunyi selengkapnya sebagai berikut : “Direktur Jenderal Pajak
berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta
menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya
sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara
pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode harga
penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method)
atau metode lainnya”. Selain ituDirjenPajak telah membuat aturan internal
mereka sendiri untuk dijadikan pedoman bagi pemeriksa pajak dalam melakukan
pemeriksaan yang terkait dengan transfer pricing.
Selengkapnya aturan terkait transfer pricing
adalah sebagai berikut :
·
Pasal
18 ayat 3 dan 4 UU PPh
·
Pasal
2 ayat 1 dan 2 UU PPN
·
Pasal
28 ayat 1 UU KUP
·
Pasal
9 ayat 1 P3B (tax treaty) model konvensi PBB
·
KEP-01/PJ.7/1993
·
SE-04/PJ.7/1993
·
PER-43/PJ/2010
·
S-153/PJ.04/2010
·
PER-48/PJ/2010
·
PER-69/PJ/2010
·
PER-32/PJ/2011
Sedangkan
OECD guideline, APA dan MAP dipakai sebagai acuan dalam kaitannya kalau terjadi
perselisihan masalah transfer pricing antar dua negara.
Sesungguhnya
amat jelas dengan adanya peraturan-peraturan tersebut bahwa Dirjen Pajak
berwenang melakukan penghitungan kembali besarnya nilai penghasilan dan
pengurang penghasilan bruto wajib pajak, dalam hal diketahui bahwa penghasilan
dan pengurang penghasilan bruto yang dilaporkan wajib pajak dalam SPT Tahunanya
tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan prinsip kelaziman usaha, hal ini
ditujukan untuk mencegah Wajib Pajak melakukan penghindaran pajak melaui transfer
pricing.
Dorongan
lain yang menyebabkan Dirjen Pajak concern terhadap isu tansfer pricing ini
adalah dengan terus meningkatnya target penerimaan pajak dari tahun ke tahun,
dimana untuk tahun 2012 sebesar Rp 1.032.6 triliun atau 78,71% dari keseluruhan
penerimaan negara yang tercantum dalam APBN 2012. dan 2014 diproyeksikan
mencapai 1.400 triliun. Untuk mencapai target itu salah satu usahanya adalah
dengan melakukan pemeriksaan terkait transfer pricing. Walaupun demikian
isu transfer pricingini adalah bukan ranah pidana, melainkan hanya
membawa konsekwensi denda administrasi pajak biasa yaitu kalau dikoreksi
positif maka wajib pajak harus membayar kekurangan bayar pajaknya, namun
demikian akan menjadi ranah pidana jika terdapat pemalsuan dokumen.
Setelah memperhatikan betapa
pentingnya isu tansfer pricing ini maka tidak bisa dipungkiri lagi Wajib
Pajak harus concern terhadap masalah ini dengan cara membenahi diri agar tidak
tersandung kasus transfer pricing, yaitu dengan cara melakukan tax
review atas kebijakan tansfer pricing selama ini dan melakukan tax
planning berkaitan dengan tansfer pricing ke depan
serta bersiap diri kalau sewaktu-waktu diperiksa dengan membuat transfer
pricing documentation yang lengkap untuk menjustifikasi kewajaran
harga transfer pricing di atas 10 milyar dalam satu tahun yang
dilakukan antar perusahaan satu grup terhadap cross border
transaction dan inbound transaction yang terdapat perbedaan tarif PPh
badan.
Peraturan terbaru mengenai Faktur Pajak
07MAR2013
Terdapat peraturan baru mengenai Faktur Pajak yaitu
PER-24/PJ/2012.
Perubahan yang mendasar adalah sejak 1 April 2013, Nomor Faktur Pajak
harus divalidasi oleh KPP setempat.
Penomoran Faktur Pajak tidak lagi dilakukan sendiri oleh PKP,
tetapi dikendalikan oleh DJP melalui pemberian nomor seri Faktur Pajak, dimana
bentuk dan tata caranya ditentukan oleh DJP.
Pengaturan penomoran Faktur Pajak yang akan diberlakukan 1 April
2013 merupakan sistem penomoran Faktur Pajak yang bersifat sementara menunggu
fase e-invoice, dimana pada tahap e-invoice mekanisme penomoran sudah by sistem
yang direncanakan akan dimulai tahun 2014 mendatang.
Penomoran FP Sesuai dengan Per-13/65 ada 8 digit dan ditentukan
oleh PKP sendiri. Sedangkan penomoran FP Sesuai dengan Per-24/2012 ada 13
digit, ditentukan oleh sistem DJP, termasuk kode tahun akan dicreate oleh
sistem DJP dan kode cabang dihapus
Nomor
seri Faktur Pajak hanya dapat diberikan kepada PKP yang:
1)Telah dilakukan registrasi ulang PKP sesuai dengan Per-05 dan perubahannya atau telah dilakukan verifikasi dalam rangka pengukuhan PKP.
2)Telah melakukan update alamat sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, apabila terjadi perubahan alamat .
3)Telah mengajukan surat permohonan kode aktivasi dan password.
4)Telah menerima surat pemberitahuan kode aktivasi dari KPP .
5)Telah menerima pemberitahuan password melalui e-mail.
6)Telah mengajukan surat permintaan nomor seri faktur pajak.
7)Telah memasukkan kode aktivasi dan password dengan benar pada saat mengajukan permintaan nomor seri faktur pajak.
8)Telah menyampaikan SPT masa PPN untuk 3 (tiga) masa pajak terakhir berturut-turut yang telah jatuh tempo pada tanggal surat permohonan nomor seri faktur pajak disampaikan ke KPP.
1)Telah dilakukan registrasi ulang PKP sesuai dengan Per-05 dan perubahannya atau telah dilakukan verifikasi dalam rangka pengukuhan PKP.
2)Telah melakukan update alamat sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, apabila terjadi perubahan alamat .
3)Telah mengajukan surat permohonan kode aktivasi dan password.
4)Telah menerima surat pemberitahuan kode aktivasi dari KPP .
5)Telah menerima pemberitahuan password melalui e-mail.
6)Telah mengajukan surat permintaan nomor seri faktur pajak.
7)Telah memasukkan kode aktivasi dan password dengan benar pada saat mengajukan permintaan nomor seri faktur pajak.
8)Telah menyampaikan SPT masa PPN untuk 3 (tiga) masa pajak terakhir berturut-turut yang telah jatuh tempo pada tanggal surat permohonan nomor seri faktur pajak disampaikan ke KPP.
Kegiatan
Permohonan Kode Aktivasi dan Password
1)WP PKP mengirim Surat permohonan kode aktivasi dikirim via pos
2)Petugas TPT di KPP akan input ke data sistem setelelah mereview Data base Registrasi Ulang PKP dan verifikasi Pengukuhan PKP
3) Password di email ke WP PKP
4) WP PKP mengirim Surat pemberitahuan kode aktivasi kempos ditujukan ke KPP via pos
5) Pemberitahuan kempos di email ke WP PKP
1)WP PKP mengirim Surat permohonan kode aktivasi dikirim via pos
2)Petugas TPT di KPP akan input ke data sistem setelelah mereview Data base Registrasi Ulang PKP dan verifikasi Pengukuhan PKP
3) Password di email ke WP PKP
4) WP PKP mengirim Surat pemberitahuan kode aktivasi kempos ditujukan ke KPP via pos
5) Pemberitahuan kempos di email ke WP PKP
Kegiatan
Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak
1) PKP mengirimkan surat permintaan nomor seri ke KPP
2)PKP memasukkan kode aktivasi dan password
3)Petugas TPT di KPP mereview Data base kepatuhan 3 masa pajak terakhir dan imput Data base penomoran Faktur Pajak
4) PKP akan menerima Surat Pemberitahuan nomor seri Faktur Pajak
1) PKP mengirimkan surat permintaan nomor seri ke KPP
2)PKP memasukkan kode aktivasi dan password
3)Petugas TPT di KPP mereview Data base kepatuhan 3 masa pajak terakhir dan imput Data base penomoran Faktur Pajak
4) PKP akan menerima Surat Pemberitahuan nomor seri Faktur Pajak
Artikel
Pajak
Gayus membeberkan berbagai modus kerja mafia pajak yang diketahuinya.
Ada setidaknya enam modus operandi mafia pajak dalam mengeruk uang negara
yang dikumpulkan dari tetesan keringat kerja keras rakyat pembayar pajak yang
jujur, yakni:
Enam modus operandi tersebut diatas, bila digunakan
secara simultan, terbukti menjadi cara efektif.bagi sebagian kaum terpelajar
dan berkeahlian lulusan Perguruan Tinggi meraih cita-cita menjadi orang yang
makmur, dikenal dermawan dalam sesaat.
Dan bila saatnya tiba, maka anggap saja sebagai
cobaan dan percaya bahwa tidak akan diberi cobaan yang melebihi
kekuatan. Memohon agar diberi kekuatan iman dalam menghadapi
cobaan. Dengan keyakinan bahwa "Badai pasti berlalu" dan
"segalanya akan indah pada waktunya", koruptor pajak melenggang
bagai orang beriman yang teraniaya. Walhasil hukuman relatif ringan dibanding
kekayaan yang diperoleh. Sekeluarnya dari penjara, masyarakat dapat menerima
dan telah melupakan apa yang pernah terjadi.
Itulah
harga yang sangat murah untuk dibayar. Buy one get much !!! mau?
|
1. Perlawanan Pasif Terhadap Pajak Perlawanan pasif adalah perlawanan yang inisiatifnya bukan dari wajib pajak itu sendiri tetapi terjadi karena keadaan yang ada di sekitar wajib pajak itu. Hambatan-hambatan tersebut berasal dari struktur ekonomi, perkembangan moral dan intelektual penduduk, dan teknik pemungutan pajak itu sendiri.
·
Struktur
Ekonomi
Contoh: Pajak penghasilan yang diterapkan pada masyarakat agraris.
Padahal pajak ini diperuntukkan untuk masyarakat di negara industri. Dalam
pajak ini, wajib pajak dituntut untuk menghitung sendiri pendapatan nettonya.
Untuk itu diperlukan adanya pembukuan. Namun, menghitung pendapatan netto
akan sangat sulit dilakukan oleh masyarakat agraris. Selain karena pencatatan
pendapatan yang akurat sulit dilakukan, mereka juga tidak mampu melakukan
pembukuan. Karena itu, timbullah perlawanan pasif terhadap pajak. Untuk
menghindari hal ini, pajak ditentukan dengan perkiraan jumlah bulat atas
dasar pendapatan kadastral/nilai sewa, ataupun atas dasar luasnya tanah yang
dikerjakan.
Di negara berkembang, biasanya negara agraris menghubungkan besarnya
penghasilan netto dengan luas kepemilikan atas tanah dan dihubungkan dengan
tingkat kesuburan tanah. Indonesia mengambil jalan keluar untuk masyarakat
kecil yang tidak bisa melakukan pembukuan dengan menggunakan norma
perhitungan. Norma perhitungan dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak. Wajib
pajak tinggal menghitung berapa omsetnya dikalikan dengan norma
perhitungannya.
·
Perkembangan
Intelektual dan Moral Penduduk
Perlawanan pasif yang timbul dari lkemahnya sistem kontrol yang
dilakukan oleh fiscus ataupun karena objek pajak itu sendiri sulit untuk
dikontrol. Contoh: Pajak kepemilikan permata yang diterapkan di Belgia.
Permata adalah benda yang kecil dan sulit dikontrol keberadaannya. Sehingga
bisa saja pemilik permata menyembunyikan permata ini agar terhindar dari
pengenaan pajak.
·
Cara
Hidup Masyarakat di Suatu Negara
Contoh: masyarakat yang hidup di daerh tropis yang hanya memiliki dua
musim sehingga memungkinkan mereka bekerja sepanjang tahun. Hal ini bisa
mengakibatkan mereka bekerja lebih santai dan hasilnya tidak optimal.
Pendapatan mereka lebih sedikit sehingga penerimaan negara pun kurang.
Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah subtropis yang memiliki
empat musim. Sebelum teknologi berkembang, mereka tidak bisa bekerja di musim
dingin. Karena itu, mereka harus bekerja keras di musim yang lainnya agar
kebutuhan di musim dingin bisa terpenuhi. Hasilnya, mereka bisa menghasilhan
pendapatan yang lebih banyak sehingga uang yang masuk ke kas negara pun lebih
banyak.
·
Teknik
Pemungutan Pajak Itu Sendiri
Contoh: untuk pajak yang cara perhitungannya rumit dan memerlukan
pengisian formulir yang rumit pula, maka perlu diadakan penyuluhan pajak
untuk menghindari adanya perlawanan pasif terhadap pajak. Jadi, setiap tahun,
peugas pajak melakukan penyuluhan dari kantor perpajakan mulai dari pusat
sampai ke daerah.
Perlawanan pasif
sangat kuat dirasakan oleh pajak langsung dari pada pajak tidak langsung. Hal
ini disebabkan oleh karena cara perhitungan pajak tidak langsung lebih
sederhana dari pajak langsung. Di negara berkembang, pajak tidak langsung
lebih besar dari pajak langsung. Sedangkan di negara maju, pemasukan negara
dari pajak langsung lebih besar dari pada pemsukan negara dari pajak tidak
langsung. Pajak tidak langsung hanya merupakan pelengkap dari pajak langsung.
Namun, dari pajak tidak langsung ada masalah ketidakadilan. Sebagai contoh,
cukai tembakau yang dikenakan pada orang yang merokok. Jika ada konglomerat
dan tukang becak yang merokok, mereka akan dikenakan cukai tembakau yang sama
besarnya walaupun mereka memiliki kemampuan ekonomi yang jauh berbeda.
2. Perlawanan aktif terhadap pajak Perlawanan aktif adalah perlawanan yang inisiatifnya berasal dari wajib pajak itu sendiri. Hal ini merupakan usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan terhadap fiscus dan bertujuan untuk menghindari pajak atau mengurangi kewajiban pajak yang seharusnya dibayar. Ada 3 cara perlawanan aktif terhadap pajak, yaitu: Penghindaran Pajak (Tax Avoidance), Pengelakan Pajak (Tax Evation), Melalaikan Pajak.
a) Penghindaran Pajak (Tax
Avoidance)
Penghindaran pajak
terjadi sebelum SKP keluar. Dalam penghindaran pajak ini, wajib pajak tidak
secara jelas melanggar undang-undang sekalipun kadang-kadang dengan jelas
menafsirkan undang-undang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat
undang-undang.
Penghindaran pajak dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
·
Menahan
Diri
Yang dimaksud dengan menahan diri
yaitu wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak. Contoh:
1.
Tidak
merokok agar terhindar dari cukai tembakau
2.
Tidak
menggunakan ikat pinggang dari kulit ular atau buaya agar terhindar dari
pajak atas pemakaian barang tersebut. Sebagai gantinya, menggunakan ikat
pinggang dari plastik.
·
Pindah
Lokasi
Memindahkan lokasi usaha atau
domisili dari lokasi yang tarif pajaknya tinggi ke loksi yang tarif pajaknya
rendah. Contoh:
Di Indonesia, diberikan keringanan bagi investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia Timur. Namun, pindah lokasi tidak semudah itu dilakukan oleh wajib pajak. Mereka harus memikirkan tentang transportasi, akomodasi, SDM, SDA, serta fasilitas-fasilitar yang menunjang usaha mereka. Hal ini harus sesuai dengan kentungan yang akan mereka dapatkan dan keringanan pajak yang mereka peroleh. Biasanya, hal ini jarang terjadi. Yang terjadi hanya pada pengusaha yang baru membuka usaha, atau perusahaan yang akan membuka cabang baru. Mereka membuka cabang baru di tempat yang tarif pajaknya lebih rendah.
·
Penghindaran
Pajak Secara Yuridis merupakan Perbuatan dengan cara sedemikian rupa
sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya
dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang.
Hal inilah yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis.
Contoh:
Penetapan pajak khusus untuk
tempat dansa umum di Belanda. Pemerintah negeri Belanda menetapkan pajak
khusus untuk tempat dansa umum. Karena pengenaan pajak ini, keuntungan
pengusaha jadi berkurang. Untuk menghindari hal ini, mereka mengubah status
tempat dansa umum tersebut menjadi tempat dansa khusus anggota yang
keanggotaannya terbuka untuk umum. Dengan demikian, mereka terbebas dari
pengenaan pajak untuk tempat dansa umum.
Di Belanda dan di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda, pemilik bioskop menyediakan sederet kursi gratis di barisan terdepan khusus untuk wartawan. Dengan asumsi, setelah menonton wartawan tersebut akan menulis review tentang film tersebut dan memuat di koran/majalah mereka. Oleh pemerintah, ini dianggap iklan gratis. Maka dari itu, diterapkanlah pajak untuk kursi gratis tersebut. Pemilik bioskop menghindari pengenaan pajak ini dengan cara mengenakan tarif masuk yang sangat murah khusus untuk wartawan. Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in natura). Menurut undang-undang yang berlaku, hal ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Penghindarannya dengan cara: perusahaan bekerjasama dengan yayasan dalam penyaluran tunjangan ini. Perusahaan memberi uang kepada yayasan, dan yayasan menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras dan hal itu dibebankan sebagai biaya sehingga pajaknya berkuarang. Celah undang-undang merupakan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis.
apakah bisa dicela
secara moral?
1.
Menahan
diri. Secara moral, hal ini tidak tercela karena tidak ada orang yang akan
menganggap perbuatan seorang peminum/perokok yang mengurangi kebiasaan
meokoknya sebagai orang yang menghindari pajak. Malah, orang yang mengurangi,
atau malah tidak merokok sama sekali dianggap sebagai tindakan terpuji.
2.
Pindah
lokasi. Hal ini tidak tercela karena merupakan hak asasi setiap orang untuk
memilih tempat atau lokasi usaha/domisilinya.
3.
Penghindaran
pajak secara Yuridis
Hal ini masih merupakan
kontroversi di kalangan para ahli.
Tercela Hal ini biasanya dikemukakan oleh kelompok sosialistis. Penghindaran pajak secara yuridis biasa dilakukan oleh orang-orang atau badan yang penghasilannya tinggi dengan cara bermusyawarah untuk mengurangi pajaknya. Hal tersebut bisa mengakibatkan pengurangan kas negara yang berimbas pada menurunnya kemampuan negara untuk menyantuni masyrakat miskinnya. Tidak tercela Hal ini dikemukakan oleh kelompok kapitalis liberalistis. Alasannya, pada banyak putusan Mahkamah Agung di negara Eropa Barat yang mengatakan bahwa tidak ada satu orang pun yang diharuskan menafsirkan suatu undang-undang untuk kepentingan negara.
b) Pengelakan Pajak (Tax Evasion)
Pengelakan pajak terjadi sebelum SKP dikeluarkan. Hal ini merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari
pajak/mengurangi dasar penetapan pajak dengan cara menyembunyikan sebagian
dari penghasilannya. Wajib pajak di setiap negara terdiri dari wajib pajak
besar (berasal dari multinational corporation yang terdiri dari perusahaan-perusahaan
penting nasional) dan wajib pajak kecil (berasal dari profesional bebas yang
terdiri dari dokter yang membuka praktek sendiri, pengacara yang bekerja
sendiri, dll).
Kecenderungan wajib pajak melakukan penghindaran atau pengelakan pajak (dengan asumsi negara yang mempunyai sistem penegakan hukum yang bagus dan orang-orang yang tidak mudah disuap). Wajib pajak besar memiliki kecenderungan untuk melakukan penghindaran pajak (Tax Avoidance). Karena:
1.
Perusahaan
besar memiliki biro-biro hukum atau tim lawyer yang tangguh yang mampu
mencari celah dalam undang-undang pajak.
2.
Pembukuan
dilakukan oleh banyak orang sehingga risiko terjadinya kebocoran juga besar.
Jika wajib pajak besar ingin melakukan pengelakan pajak, mereka harus
memperkecil keuntungannya di mata publik. Perusahaan yang labanya kecil,
performancenya akan turun sehingga harga sahamnya turun. Hal ini
mengakibatkan pamornya turun di depan relasi dagangnya. Sehingga mereka akan
kehilangan relasi yang mengakibatkan kerugian yang lebih besar dibandingkan
pengurangan tarif pajak.
Wajib pajak kecil cenderung melakukan pengelakan pajak (Tax Evation). Karena:
1.
Tidak
punya kemampuan untuk mencari celah undang-undang pajak.
2.
Apabila
dokter/profesional bebas menyembunyikan sebahagian pendapatannya, kecil
kemungkinan diketahui oleh fiscus karena dia sendiri yang mencatat
penghasilannya.
Penghasilan para profesional bebas sulit dilacak oleh fiscus karena
biaya yang dibayar oleh pasien kepada dokter tidak mengurangi penghasilan
kena pajak seseorang. Biaya tersebut dianggap sebagai konsumsi.
Akibat-Akibat Pengelakan Pajak
1.
Dalam
bidang keuangan. Pengelakan pajak merupakan pos kerugian bagi kas negara
karena dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara anggaran dan konsekuensi-konsekuensi
lain yang berhubungan dengan itu, seperti kenaikan tarif pajak, keadaan
inflasi, dll.
2.
Dalam
bidang ekonomi. Pengelakan pajak sangat memengaruhi persaingan sehat di
antara para pengusaha. Maksudnya, pengusaha yang melakukan pengelakan pajak dengan
cara menekan biayanya secara tidak wajar. Sehingga, perusahaan yang
mengelakkan pajak memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan
pengusaha yang jujur. Walaupun dengan usaha dan produktifitas yang sama, si
pengelak pajak mendapat keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan
pengusaha yang jujur.
Pengelakan pajak menyebabkan stagnasi (macetnya) pertumbuhan ekonomi
atau perputaran roda ekonomi. Jika mereka terbiasa melakukan pengelakan
pajak, mereka tidak akan meningkatkan produktifitas mereka. Untuk memperoleh
laba yang lebih besar, mereka akan melakukan pengelakan pajak.
Langkanya modal karena wajib pajak berusaha menyembunyikan penghasilannya agar tidak diketahui fiscus. Sehingga mereka tidak berani menawarkan uang hasil penggelapan pajak tersebut ke pasar modal. Dalam bidang psikologi Jika wajib pajak terbiasa melakukan penggelapan pajak, itu sama saja membiasakan untuk selalu melanggar undang-undang. Jika wajib pajak menggelapkan pajak, maka wajib pajak mendapatkan keuntungan bersih yang lebih besar. Jika perbuatannya melangggar undang-undang tidak diketahui oleh fiscus, maka dia akan senang karena tidak terkena sangsi dan menimbulkan keinginan untuk mengulangi perbuatannya itu lagi pada tahun-tahun berikutnya dan diperluas lagi tidak hanya pada pelanggaran undang-undang pajak, tetapi juga undang-undang yang lainnya.
c) Melalaikan Pajak
Melalaikan pajak terjadi setelah SKP keluar. Melalaikan pajak adalah
menolak membayar pajak yang telah ditetapkan dan menolak memenuhi
formalitas-formalitas yang harus dipenuhi oleh wajib pajak dengan cara
menghalangi penyitaan.
1.
Jika
wajib pajak telah menerima SKP, maka dia harus membayar pajak sesuai dengan
SKP tersebut.
2.
Jika
wajib pajak tidak melakukannya, maka fiscus akan mengirim surat teguran.
3.
Jika
belum dibayar juga, maka diterbitkanlah surat paksa yang kekuatannya sama
dengan putusan pengadilan yang berlaku.
4.
Setelah
2 x 24 jam wajib pajak belum membayar juga, maka diterbitkan surat penyitaan
yaitu surat perintah untuk melakukan penyitaan pada harta wajib pajak itu.
Wajib pajak akan melakukan usaha untuk menghalangi penyitaan itu dengan
cara kasar dan cara halus. Cara kasar: yaitu saat juru sita datang,
dilepaskan anjing herder untuk mengusir juru sita tersebut. Ataupun mengancam
dengan golok.
Cara halus: yaitu dengan cara mengalihkan/ memindahtangankan semua harta wajib pajak ke tangan orang lain atau keluarganya secara pura-pura. Untuk memunculkan harta yang tersembunyi ini, maka wajib pajak disandera. Karena melalaikan pajak bukanlah perbuatan pidana, maka jika wajib pajak disandera, biaya makan dan minum ditanggung oleh Direktorat Jenderal Pajak. Sandera diberlakukan untuk orang yang berutang, baik utang publik maupun perdata (menurut HIR). Tetapi, ada edaran dari MA bahwa untuk utang perdata, orang yang berutang tidak disandera karena posisi orang yang berutang lebih lemah. Untuk utang pajak termasuk utang publik. Karena itu wajib pajak yang tidak membayar pajak akan disandera. beberapa modus operandi cara halus:
·
Pelimpahan
Pajak
H. J. Hofstra, ahli hukum pajak
dari Belanda, menambahkan bahwa salah satu bentuk perlawanan aktif pajak
yaitu pelimpahan pajak. Hal ini biasa dilakukan oleh wajib pajak dengan
melimpahkan kewajiban pajak langsungnya ke pihak lain atau pihak ke tiga. Hal
ini adalah pelanggaran undang-undang karena pajak langsung dikenakan kepada
wajib pajak untuk wajib pajak itu sendiri tidak boleh dilimpahkan kepada
orang lain. Karena wajib pajak itu sendiri merupakan destinator.
Contoh pelimpahan pajak: Pajak penghasilan (yang seharusnya dibayar sendiri oleh perusahaan) dilimpahkan ke dalam harga barang yang dijual ke masyarakat. Hal ini mengakibatkan harga barang menjadi lebih tinngi dari yang seharusnya. Pelimpahan pajak ini melanggar undang-undang.
·
Kompensasi
Pajak
Secara Negatif
Reaksi lain sebagai gejala
perlawanan terhadap pajak yaitu kompensasi pajak secara negatif. Kompensasi
pajak secara negatif yaitu: melepaskan pekerjaan sampingan untuk menghindari
tarif pajak yang lebih tinggi.
Contoh: A adalah seorang akuntan yang bekerja full time di sebuah perusahaan. Gaji per tahunnya Rp 40 juta. Menurut UU PPh, tarif pajaknya 25%. Setelah mempunyai pekerjaan sampingan, pendapatannya menjadi Rp 60 juta/tahun. Karena kenaikan ini, tarif pajaknya menjadi 35%. Karena terkena tarif pajak yang lebih tinggi, maka dia melepas pekerjaan sampingan tersebut. Secara Positif
Kompensasi pajak secara positif
bukan merupakan perlawanan terhadap pajak. Hal ini bahkan menguntungkan bagi
kas negara.
Contoh: B adalah seorang akuntan di sebuah perusahaan dengan pendapatan Rp 40 juta/tahun. Setelah mempunyai pekerjaan sampingan, pendapatannya menjadi Rp 60 juta/tahun. Namun, dia tetap mengambil pekerjaan itu walaupun tarif pajaknya naik karena berpikir bahwa pendapataqnnya juga meningkat. |