Rabu, 05 Juni 2013

artikel pajak


TRANSFER PRICING
Dirjen Pajak berkepentingan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak tidak menggunakan transaksi afiliasi dan penetapan harga atas transaksi tersebut (transfer pricing) sebagai sarana penghindaran pajak (tax avoidance), karena Transaksi afiliasi tidak selalu mengadopsi kondisi dan syarat yang berlaku di pasar. Untuk itu Dirjen Pajak akan terus mengembangkan program untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak pada saat melakukan transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, sehingga :
1.      Transfer pricing yang dilakukan oleh wajib pajak sesuai dengan prinsip kewajaran (arm’s length principle)
2.      Metodologi transfer pricing yang digunakan oleh wajib pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku dan praktik usaha yang lazim yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa;
3.      Wajib pajak yang bersangkutan dan perusahaan afiliasinya telah membayar pajak sesusai dengan proporsi fungsinya dalam transaksi; serta
4.      Mendokumentasikan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dalam penentuan harga transaksinya. Untuk itu wajib pajak yang melakukan transaksi afiliasi wajib menyiapkan dokumentasi yang memadai untuk membuktikan bahwa transfer pricing yang dilakukan telah sesuai dengan arm’s length principle  (membuat TP Documentation).

DEFINISI TRANSFER PRICING
Menurut Charles T.Hongren :
“Transfer price is the price one subunit (department or division) charges for product or service supplied to another subunit of the same organization”
Dr. Gunadi :
“Transfer pricing adalah penentuan harga atau imbalan sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, atau pengalihan teknologi antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dan suatu rekayasa manipulasi harga secara sistematis dengan maksud mengurangi laba artifisial, membuat seolah-olah perusahaan rugi, menghindari pajak atau bea di suatu negara”
Dirjen Pajak :
“Penetapan harga atas transaksi penyerahan barang berwujud, barang tidak berwujud, atau penyediaan jasa antar pihak yang memiliki hubungan istimewa (transaksi afiliasi)”
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa transfer pricing adalah hal yang wajar dalam dunia usaha (definisi netral), namun menurut Prof. Dr. Gunadi (mantan direktur pemeriksaan pajak) transfer pricing mempunyai konotasi negatif sebagai suatu praktik bisnis yang tidak baik, yaitu pengalihan atas penghasilan kena pajak (taxable income) dari suatu perusahaan yang dimiliki oleh perusahaan multinasional ke negara-negara yang tarif pajaknya rendah dalam rangka untuk mengurangi total beban pajak dari grup perusahaan multinasional tersebut.

PENTINGNYA ISU TRANSFER PRICING DAN BAGAIMANA MENGANTISIPASINYA
Di jaman globalisasi ini, dimana negara Indonesia adalah menjadi bagian dari perekonomian global, hal ini dibuktikan dengan masuknya Indonesia dalam G-20, APEC, WTO dan lainnya, transfer pricing menjadi issu yang penting baik bagi Wajib Pajak maupun otoritas pajak. Karena ketentuan transfer pricing pada akhirnya akan menentukan negara mana yang berhak untuk memajaki laba yang dihasilkan oleh perusahaan yang menjalankan usahanya di lebih dari satu negara.
Menurut OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) bahwa sekitar 60% dari transaksi perdagangan dan keuangan lintas negara (cross border transaction) dilakukan antar perusahaan dalam suatu kelompok perusahaan multinasional, maka menurut Dirjen Pajak dapat disimpulkan bahwa diperkirakan besaran transaksi afiliasi adalah sekitar 60% dari transaksi lintas negara yang terjadi di Indonesia. Sehingga konsekwensi logisnya, Dirjen Pajak sebagai otoritas pajak di Indonesia, menentukan sikap dan posisi untuk merespons perkembangan tersebut dengan menganggap issu tansfer pricing adalah issu yang sangat penting, khususnya terkait dengan aspek perpajakan dari transaksi afiliasi. Hal ini dibuktikan dengan membentuk satuan khusus transfer pricing sejak tahun 2007 dan sudah membekali pemeriksa pajak sebanyak 1.000 orang dengan pengetahuan transfer pricing, sedangkan menurut menkeu 2.000 orang. Selain itu Dirjen Pajak telah menempatkan intel di beberapa negara tax haven country.
Dari sudut pandang Dirjen Pajak, tidak diragukan lagi bahwa tansfer pricing sangat berpengaruh terhadap penerimaan pajak negara. Berdasarkan perhitungan Dirjen Pajak dinyatakan bahwa negara berpotensi telah kehilangan 1.300 Triliun Rupiah akibat dari praktik tranfer pracing. Bahkan lebih dipertegas lagi menurut informasi internal Dirjen Pajak bahwa kehilangan tersebut kebanyakan akibat adanya pembayaran Bunga, Royalti serta Intragroup Service, sehingga Dirjen Pajak percaya bahwa dengan menyetop pembayaran tersebut negara sudah tidak perlu menambah hutang lagi.
Wajib Pajak menganggap penting issu tansfer pricing adalah dibuktikan dengan hasil survey E&Y terkait transfer pricing untuk tahun 2007 yang dipublikasikan pada bulan Februari 2008. Di bawah ini adalah kutipan asli dari hasil survey tersebut :
·         39% of all respondents identified tansfer pricing as the most important tax issue facing their group, more than any other tax issue.
Table hasil survey E&Y consultant :
No.
Tax Issues
Percentage
1.
Transfer Pricing
39%
2.
Tax Planning
32%
3.
Double Taxation
9%
4.
Value Added Tax
8%
5.
Tax Controversy
6%
6.
Customs Duties
3%
7.
Foreign Tax Credit
3%

TOTAL
100%
·         74% of parent and 81% of subsidiary resondents believe that transfer pricing will be “absolutely critical” or “very important” to their organizations over the next two years.
·         65% of parent respondents believe that transfer pricing documentation is more important now than it was two years ago,
·         2/3 of parent respondents have experienced an increased need for transfer pricing resources in the last three years, with 74% meeting this needs through increased reliance on external advisors
Dari poin-poin hasil survey tersebut tidak bisa dipungkiri bahwa isu transfer pricing bagi wajib pajak sangat benting. Dari poin terakhir hasil survey tersebut menyebutkan bahwa terdapat 2/3 dari total responden telah menyiapkan sumber daya manusia khusus untuk menangani masalah transfer pricing. Hasil survey ini telah diketahui juga oleh Dirjen Pajak, maka dengan fakta itu juga Dirjen Pajak berkepentingan untuk menyiapkan segala perangkat baik SDM, sarana dan satuan khusus untuk menangani masalah tansfer pricing.
Fakta lain yang men-challenge DirjenPajak untuk menganggap isu transfer itu menjadi sangat penting adalah adanya statement dari konsultan pajak kelas dunia yang terdapat dalam pedoman transfer pricing PriceWater Coopers, bahwa “The Indonesian tax authorities cannot be considered a sophistcated tax authority from a transfer pricing perspective” (international tansfer pricing 2008, PwC, page 410).
Selain itu transfer pricing menjadi penting bagi wajib pajak karena setiapWajibPajak yang mempunyai transaksi afiliasi diwajibkan mengisi form 3A atau 3B pada SPT badannya, sehingga dari isian form ituDirjenPajak akan mudah mengetahui adanya transaksi transfer pricing yang nantinya akan dijadikan bahan pemeriksaan. Meskipun sejak tahun 1993 keharusan itu telah ada, namun mulai tahun 2009 keharusan itu menjadi penting karena format isian form 3A atau 3B lebih detail dan memaksa wajib pajak lebih transparan dalam menginformasikan transfer pricing.
Seperti telah diketahui umum bahwa mulai tahun 2007 Dirjen Pajak telah membenahi diri secara total berkaitan dengan pembenahan sumber daya manusia, penegakan hukum di internal dirjen pajak, pembenahan peraturan dan teknologi informasi. Semua itu akan menggiringWajibPajak untuk mau tidak mau harus menjalankan seluruh kewajiban perpajakannya secara benar, sehingga wajib pajak tidak ada celah lagi untuk mengelak dari kewajiban perpajakan.
Dari segi dasar hukum yang berkaitan dengan transfer pricing telah diperkuat dengan masuknya klausul metode penentuan harga transfer pricing dalam batang tubuh Undang-undang PPh, padahal dulunya klausul tersebut hanya terdapat dalam Surat Edaran Pajak. Dasar hukum tersebut ditambahkan dalam UU PPh no 36 pasal 18 ayat 3, yang bunyi selengkapnya sebagai berikut :  “Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method) atau metode lainnya”. Selain ituDirjenPajak telah membuat aturan internal mereka sendiri untuk dijadikan pedoman bagi pemeriksa pajak dalam melakukan pemeriksaan yang terkait dengan transfer pricing.
Selengkapnya aturan terkait transfer pricing adalah sebagai berikut :
·         Pasal 18 ayat 3 dan 4 UU PPh
·         Pasal 2 ayat 1 dan 2 UU PPN
·         Pasal 28 ayat 1 UU KUP
·         Pasal 9 ayat 1 P3B (tax treaty) model konvensi PBB
·         KEP-01/PJ.7/1993
·         SE-04/PJ.7/1993
·         PER-43/PJ/2010
·         S-153/PJ.04/2010
·         PER-48/PJ/2010
·         PER-69/PJ/2010
·         PER-32/PJ/2011
Sedangkan OECD guideline, APA dan MAP dipakai sebagai acuan dalam kaitannya kalau terjadi perselisihan masalah transfer pricing antar dua negara.
Sesungguhnya amat jelas dengan adanya peraturan-peraturan tersebut bahwa Dirjen Pajak berwenang melakukan penghitungan kembali besarnya nilai penghasilan dan pengurang penghasilan bruto wajib pajak, dalam hal diketahui bahwa penghasilan dan pengurang penghasilan bruto yang dilaporkan wajib pajak dalam SPT Tahunanya tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan prinsip kelaziman usaha, hal ini ditujukan untuk mencegah Wajib Pajak melakukan penghindaran pajak melaui transfer pricing.
Dorongan lain yang menyebabkan Dirjen Pajak concern terhadap isu tansfer pricing ini adalah dengan terus meningkatnya target penerimaan pajak dari tahun ke tahun, dimana untuk tahun 2012 sebesar Rp 1.032.6 triliun atau 78,71% dari keseluruhan penerimaan negara yang tercantum dalam APBN 2012. dan 2014 diproyeksikan mencapai 1.400 triliun. Untuk mencapai target itu salah satu usahanya adalah dengan melakukan pemeriksaan terkait transfer pricing. Walaupun demikian isu transfer pricingini adalah bukan ranah pidana, melainkan hanya membawa konsekwensi denda administrasi pajak biasa yaitu kalau dikoreksi positif maka wajib pajak harus membayar kekurangan bayar pajaknya, namun demikian akan menjadi ranah pidana jika terdapat pemalsuan dokumen.
Setelah memperhatikan betapa pentingnya isu tansfer pricing ini maka tidak bisa dipungkiri  lagi Wajib Pajak harus concern terhadap masalah ini dengan cara membenahi diri agar tidak tersandung kasus transfer pricing, yaitu dengan cara melakukan tax review atas kebijakan tansfer pricing selama ini dan melakukan tax planning berkaitan dengan tansfer pricing ke depan serta bersiap diri kalau sewaktu-waktu diperiksa dengan membuat transfer pricing documentation yang lengkap untuk menjustifikasi kewajaran harga transfer pricing di atas 10 milyar dalam satu tahun yang dilakukan antar perusahaan satu grup terhadap cross border transaction dan inbound transaction yang terdapat perbedaan tarif PPh badan.

Peraturan terbaru mengenai Faktur Pajak

Terdapat peraturan baru mengenai Faktur Pajak yaitu PER-24/PJ/2012.
Perubahan yang mendasar adalah sejak 1 April 2013, Nomor Faktur Pajak harus divalidasi oleh KPP setempat.
Penomoran Faktur Pajak tidak lagi dilakukan sendiri oleh PKP, tetapi dikendalikan oleh DJP melalui pemberian nomor seri Faktur Pajak, dimana bentuk dan tata caranya ditentukan oleh DJP.
Pengaturan penomoran Faktur Pajak yang akan diberlakukan 1 April 2013 merupakan sistem penomoran Faktur Pajak yang bersifat sementara menunggu fase e-invoice, dimana pada tahap e-invoice mekanisme penomoran sudah by sistem yang direncanakan akan dimulai tahun 2014 mendatang.
Penomoran FP Sesuai dengan Per-13/65 ada 8 digit dan ditentukan oleh PKP sendiri. Sedangkan penomoran FP Sesuai dengan Per-24/2012 ada 13 digit, ditentukan oleh sistem DJP, termasuk kode tahun akan dicreate oleh sistem DJP dan kode cabang dihapus
Nomor seri Faktur Pajak hanya dapat diberikan kepada PKP yang:
1)Telah dilakukan registrasi ulang PKP sesuai dengan Per-05 dan perubahannya atau telah dilakukan verifikasi dalam rangka pengukuhan PKP.
2)Telah melakukan update alamat sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, apabila terjadi perubahan alamat .
3)Telah mengajukan surat permohonan kode aktivasi dan password.
4)Telah menerima surat pemberitahuan kode aktivasi dari KPP .
5)Telah menerima pemberitahuan password melalui e-mail.
6)Telah mengajukan surat permintaan nomor seri faktur pajak.
7)Telah memasukkan kode aktivasi dan password dengan benar pada saat mengajukan permintaan nomor seri faktur pajak.
8)Telah menyampaikan SPT masa PPN untuk 3 (tiga) masa pajak terakhir berturut-turut yang telah jatuh tempo pada tanggal surat permohonan nomor seri faktur pajak disampaikan ke KPP.
Kegiatan Permohonan Kode Aktivasi dan Password
1)WP PKP mengirim Surat permohonan kode aktivasi dikirim via pos
2)Petugas TPT di KPP akan input ke data sistem setelelah mereview Data base Registrasi Ulang PKP dan verifikasi Pengukuhan PKP
3) Password di email ke WP PKP
4) WP PKP mengirim Surat pemberitahuan kode aktivasi kempos ditujukan ke KPP via pos
5) Pemberitahuan kempos di email ke WP PKP
Kegiatan Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak
1) PKP mengirimkan surat permintaan nomor seri ke KPP
2)PKP memasukkan kode aktivasi dan password
3)Petugas TPT di KPP mereview Data base kepatuhan 3 masa pajak terakhir dan imput Data base penomoran Faktur Pajak
4) PKP akan menerima Surat Pemberitahuan nomor seri Faktur Pajak
FP PPN 2012-2
FP PPN 2012

Artikel Pajak
        Gayus membeberkan berbagai modus kerja mafia pajak yang diketahuinya. Ada setidaknya enam modus operandi mafia pajak dalam mengeruk uang negara yang dikumpulkan dari tetesan keringat kerja keras rakyat pembayar pajak yang jujur, yakni:
  1. Melalui proses negosiasi di tingkat pemeriksaan pajak. Sehingga keberatan pajak tidak mencerminkan nilai sebenarnya. Ini bisa menimbulkan deal-deal tertentu dalam pemeriksaan.
  2. Melalui proses negosiasi di tingkat penyidikan pajak. Misalnya, soal faktur pajak fiktif. Menurut Gayus, selain pemilik faktur pajak fiktif diimbau untuk betulkan SPT, mereka juga ditakut-takuti nanti bisa menjadi saksi atau tersangka. "Ujung-ujungnya uang sehingga pengguna faktur pajak fiktif tetap jadi saksi," ungkapnya.
  3. Melakukan penyelewengan fiskal luar negeri dengan berbagai modus di bandara yang melayani rute penerbangan internasional. Dimana, setiap orang yang bekerja di luar negeri harus bayar fiskal Rp2,5 juta. "Tapi, setelah ada peraturan cukup menunjukkan NPWP, maka itu hilang dengan sendirinya.
  4. penghilangan bekas surat permohonan keberatan wajib pajak. "Sehingga ketika jatuh tempo atau 12 bulan, belum bisa diproses..
  5. Modus penggunaan perusahaan di luar negeri khususnya Belanda, dimana terdapat celah hukum pembayaran bunga kepada perusahaan asing di Belanda. 
  6. Modus kerugian investasi dalam SPT tahunan. Modus semacam ini sudah sering terjadi di Dirjen Pajak tapi tidak diangkat penyidik maupun pihak yang berkepentingan. Kerugian menakutkan bagi negara ini adalah restitusi pajak jumlahnya rata-rata Rp1 triliun.
        Enam modus operandi tersebut diatas, bila digunakan secara simultan, terbukti menjadi cara efektif.bagi sebagian kaum terpelajar dan berkeahlian lulusan Perguruan Tinggi meraih cita-cita menjadi orang yang makmur, dikenal dermawan dalam sesaat. 
        Dan bila saatnya tiba, maka anggap saja sebagai cobaan dan percaya bahwa tidak akan diberi cobaan yang  melebihi kekuatan.  Memohon  agar diberi kekuatan iman dalam menghadapi cobaan. Dengan keyakinan bahwa "Badai pasti berlalu" dan "segalanya akan indah pada waktunya", koruptor pajak melenggang bagai orang beriman yang teraniaya. Walhasil hukuman relatif ringan dibanding kekayaan yang diperoleh. Sekeluarnya dari penjara, masyarakat dapat menerima dan telah melupakan apa yang pernah terjadi.  
Itulah harga yang sangat murah untuk dibayar. Buy one get much !!! mau?
  • Secara umum ada dua jenis perlawanan terhadap pajak yakni:

1. Perlawanan Pasif Terhadap Pajak
        Perlawanan pasif adalah perlawanan yang inisiatifnya bukan dari wajib pajak itu sendiri tetapi terjadi karena keadaan yang ada di sekitar wajib pajak itu. Hambatan-hambatan tersebut berasal dari struktur ekonomi, perkembangan moral dan intelektual penduduk, dan teknik pemungutan pajak itu sendiri.
·         Struktur Ekonomi
        Contoh: Pajak penghasilan yang diterapkan pada masyarakat agraris. Padahal pajak ini diperuntukkan untuk masyarakat di negara industri. Dalam pajak ini, wajib pajak dituntut untuk menghitung sendiri pendapatan nettonya. Untuk itu diperlukan adanya pembukuan. Namun, menghitung pendapatan netto akan sangat sulit dilakukan oleh masyarakat agraris. Selain karena pencatatan pendapatan yang akurat sulit dilakukan, mereka juga tidak mampu melakukan pembukuan. Karena itu, timbullah perlawanan pasif terhadap pajak. Untuk menghindari hal ini, pajak ditentukan dengan perkiraan jumlah bulat atas dasar pendapatan kadastral/nilai sewa, ataupun atas dasar luasnya tanah yang dikerjakan.

        Di negara berkembang, biasanya negara agraris menghubungkan besarnya penghasilan netto dengan luas kepemilikan atas tanah dan dihubungkan dengan tingkat kesuburan tanah. Indonesia mengambil jalan keluar untuk masyarakat kecil yang tidak bisa melakukan pembukuan dengan menggunakan norma perhitungan. Norma perhitungan dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak. Wajib pajak tinggal menghitung berapa omsetnya dikalikan dengan norma perhitungannya.
·         Perkembangan Intelektual dan Moral Penduduk
        Perlawanan pasif yang timbul dari lkemahnya sistem kontrol yang dilakukan oleh fiscus ataupun karena objek pajak itu sendiri sulit untuk dikontrol. Contoh: Pajak kepemilikan permata yang diterapkan di Belgia. Permata adalah benda yang kecil dan sulit dikontrol keberadaannya. Sehingga bisa saja pemilik permata menyembunyikan permata ini agar terhindar dari pengenaan pajak.
·         Cara Hidup Masyarakat di Suatu Negara
        Contoh: masyarakat yang hidup di daerh tropis yang hanya memiliki dua musim sehingga memungkinkan mereka bekerja sepanjang tahun. Hal ini bisa mengakibatkan mereka bekerja lebih santai dan hasilnya tidak optimal. Pendapatan mereka lebih sedikit sehingga penerimaan negara pun kurang. Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah subtropis yang memiliki empat musim. Sebelum teknologi berkembang, mereka tidak bisa bekerja di musim dingin. Karena itu, mereka harus bekerja keras di musim yang lainnya agar kebutuhan di musim dingin bisa terpenuhi. Hasilnya, mereka bisa menghasilhan pendapatan yang lebih banyak sehingga uang yang masuk ke kas negara pun lebih banyak.
·         Teknik Pemungutan Pajak Itu Sendiri
        Contoh: untuk pajak yang cara perhitungannya rumit dan memerlukan pengisian formulir yang rumit pula, maka perlu diadakan penyuluhan pajak untuk menghindari adanya perlawanan pasif terhadap pajak. Jadi, setiap tahun, peugas pajak melakukan penyuluhan dari kantor perpajakan mulai dari pusat sampai ke daerah.

        Perlawanan pasif sangat kuat dirasakan oleh pajak langsung dari pada pajak tidak langsung. Hal ini disebabkan oleh karena cara perhitungan pajak tidak langsung lebih sederhana dari pajak langsung. Di negara berkembang, pajak tidak langsung lebih besar dari pajak langsung. Sedangkan di negara maju, pemasukan negara dari pajak langsung lebih besar dari pada pemsukan negara dari pajak tidak langsung. Pajak tidak langsung hanya merupakan pelengkap dari pajak langsung. Namun, dari pajak tidak langsung ada masalah ketidakadilan. Sebagai contoh, cukai tembakau yang dikenakan pada orang yang merokok. Jika ada konglomerat dan tukang becak yang merokok, mereka akan dikenakan cukai tembakau yang sama besarnya walaupun mereka memiliki kemampuan ekonomi yang jauh berbeda.

2. Perlawanan aktif terhadap pajak
        Perlawanan aktif adalah perlawanan yang inisiatifnya berasal dari wajib pajak itu sendiri. Hal ini merupakan usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan terhadap fiscus dan bertujuan untuk menghindari pajak atau mengurangi kewajiban pajak yang seharusnya dibayar.

        Ada 3 cara perlawanan aktif terhadap pajak, yaitu: Penghindaran Pajak (Tax Avoidance), Pengelakan Pajak (Tax Evation), Melalaikan Pajak.
a) Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
        Penghindaran pajak terjadi sebelum SKP keluar. Dalam penghindaran pajak ini, wajib pajak tidak secara jelas melanggar undang-undang sekalipun kadang-kadang dengan jelas menafsirkan undang-undang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat undang-undang.
        Penghindaran pajak dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
·         Menahan Diri
Yang dimaksud dengan menahan diri yaitu wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak. Contoh:
1.      Tidak merokok agar terhindar dari cukai tembakau
2.      Tidak menggunakan ikat pinggang dari kulit ular atau buaya agar terhindar dari pajak atas pemakaian barang tersebut. Sebagai gantinya, menggunakan ikat pinggang dari plastik.
·         Pindah Lokasi
Memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif pajaknya tinggi ke loksi yang tarif pajaknya rendah. Contoh:

Di Indonesia, diberikan keringanan bagi investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia Timur. Namun, pindah lokasi tidak semudah itu dilakukan oleh wajib pajak. Mereka harus memikirkan tentang transportasi, akomodasi, SDM, SDA, serta fasilitas-fasilitar yang menunjang usaha mereka. Hal ini harus sesuai dengan kentungan yang akan mereka dapatkan dan keringanan pajak yang mereka peroleh. Biasanya, hal ini jarang terjadi. Yang terjadi hanya pada pengusaha yang baru membuka usaha, atau perusahaan yang akan membuka cabang baru. Mereka membuka cabang baru di tempat yang tarif pajaknya lebih rendah.
·         Penghindaran Pajak Secara Yuridis merupakan  Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang. Hal inilah yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Contoh:

Penetapan pajak khusus untuk tempat dansa umum di Belanda. Pemerintah negeri Belanda menetapkan pajak khusus untuk tempat dansa umum. Karena pengenaan pajak ini, keuntungan pengusaha jadi berkurang. Untuk menghindari hal ini, mereka mengubah status tempat dansa umum tersebut menjadi tempat dansa khusus anggota yang keanggotaannya terbuka untuk umum. Dengan demikian, mereka terbebas dari pengenaan pajak untuk tempat dansa umum.

Di Belanda dan di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda, pemilik bioskop menyediakan sederet kursi gratis di barisan terdepan khusus untuk wartawan. Dengan asumsi, setelah menonton wartawan tersebut akan menulis review tentang film tersebut dan memuat di koran/majalah mereka. Oleh pemerintah, ini dianggap iklan gratis. Maka dari itu, diterapkanlah pajak untuk kursi gratis tersebut. Pemilik bioskop menghindari pengenaan pajak ini dengan cara mengenakan tarif masuk yang sangat murah khusus untuk wartawan.

Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in natura). Menurut undang-undang yang berlaku, hal ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Penghindarannya dengan cara: perusahaan bekerjasama dengan yayasan dalam penyaluran tunjangan ini. Perusahaan memberi uang kepada yayasan, dan yayasan menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras dan hal itu dibebankan sebagai biaya sehingga pajaknya berkuarang. Celah undang-undang merupakan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis.

 apakah  bisa dicela secara moral?
1.      Menahan diri. Secara moral, hal ini tidak tercela karena tidak ada orang yang akan menganggap perbuatan seorang peminum/perokok yang mengurangi kebiasaan meokoknya sebagai orang yang menghindari pajak. Malah, orang yang mengurangi, atau malah tidak merokok sama sekali dianggap sebagai tindakan terpuji.
2.      Pindah lokasi. Hal ini tidak tercela karena merupakan hak asasi setiap orang untuk memilih tempat atau lokasi usaha/domisilinya.
3.      Penghindaran pajak secara Yuridis
Hal ini masih merupakan kontroversi di kalangan para ahli.
Tercela
Hal ini biasanya dikemukakan oleh kelompok sosialistis. Penghindaran pajak secara yuridis biasa dilakukan oleh orang-orang atau badan yang penghasilannya tinggi dengan cara bermusyawarah untuk mengurangi pajaknya. Hal tersebut bisa mengakibatkan pengurangan kas negara yang berimbas pada menurunnya kemampuan negara untuk menyantuni masyrakat miskinnya.

Tidak tercela
Hal ini dikemukakan oleh kelompok kapitalis liberalistis. Alasannya, pada banyak putusan Mahkamah Agung di negara Eropa Barat yang mengatakan bahwa tidak ada satu orang pun yang diharuskan menafsirkan suatu undang-undang untuk kepentingan negara.

b) Pengelakan Pajak (Tax Evasion)
        Pengelakan pajak terjadi sebelum SKP dikeluarkan. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari pajak/mengurangi dasar penetapan pajak dengan cara menyembunyikan sebagian dari penghasilannya. Wajib pajak di setiap negara terdiri dari wajib pajak besar (berasal dari multinational corporation yang terdiri dari perusahaan-perusahaan penting nasional) dan wajib pajak kecil (berasal dari profesional bebas yang terdiri dari dokter yang membuka praktek sendiri, pengacara yang bekerja sendiri, dll).

        Kecenderungan wajib pajak melakukan penghindaran atau pengelakan pajak (dengan asumsi negara yang mempunyai sistem penegakan hukum yang bagus dan orang-orang yang tidak mudah disuap).

        Wajib pajak besar memiliki kecenderungan untuk melakukan penghindaran pajak (Tax Avoidance). Karena:
1.      Perusahaan besar memiliki biro-biro hukum atau tim lawyer yang tangguh yang mampu mencari celah dalam undang-undang pajak.
2.      Pembukuan dilakukan oleh banyak orang sehingga risiko terjadinya kebocoran juga besar.
        Jika wajib pajak besar ingin melakukan pengelakan pajak, mereka harus memperkecil keuntungannya di mata publik. Perusahaan yang labanya kecil, performancenya akan turun sehingga harga sahamnya turun. Hal ini mengakibatkan pamornya turun di depan relasi dagangnya. Sehingga mereka akan kehilangan relasi yang mengakibatkan kerugian yang lebih besar dibandingkan pengurangan tarif pajak.

        Wajib pajak kecil cenderung melakukan pengelakan pajak (Tax Evation). Karena:
1.      Tidak punya kemampuan untuk mencari celah undang-undang pajak.
2.      Apabila dokter/profesional bebas menyembunyikan sebahagian pendapatannya, kecil kemungkinan diketahui oleh fiscus karena dia sendiri yang mencatat penghasilannya.
        Penghasilan para profesional bebas sulit dilacak oleh fiscus karena biaya yang dibayar oleh pasien kepada dokter tidak mengurangi penghasilan kena pajak seseorang. Biaya tersebut dianggap sebagai konsumsi.

Akibat-Akibat Pengelakan Pajak
1.      Dalam bidang keuangan. Pengelakan pajak merupakan pos kerugian bagi kas negara karena dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara anggaran dan konsekuensi-konsekuensi lain yang berhubungan dengan itu, seperti kenaikan tarif pajak, keadaan inflasi, dll.
2.      Dalam bidang ekonomi. Pengelakan pajak sangat memengaruhi persaingan sehat di antara para pengusaha. Maksudnya, pengusaha yang melakukan pengelakan pajak dengan cara menekan biayanya secara tidak wajar. Sehingga, perusahaan yang mengelakkan pajak memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan pengusaha yang jujur. Walaupun dengan usaha dan produktifitas yang sama, si pengelak pajak mendapat keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan pengusaha yang jujur.
        Pengelakan pajak menyebabkan stagnasi (macetnya) pertumbuhan ekonomi atau perputaran roda ekonomi. Jika mereka terbiasa melakukan pengelakan pajak, mereka tidak akan meningkatkan produktifitas mereka. Untuk memperoleh laba yang lebih besar, mereka akan melakukan pengelakan pajak.

        Langkanya modal karena wajib pajak berusaha menyembunyikan penghasilannya agar tidak diketahui fiscus. Sehingga mereka tidak berani menawarkan uang hasil penggelapan pajak tersebut ke pasar modal.
Dalam bidang psikologi

        Jika wajib pajak terbiasa melakukan penggelapan pajak, itu sama saja membiasakan untuk selalu melanggar undang-undang. Jika wajib pajak menggelapkan pajak, maka wajib pajak mendapatkan keuntungan bersih yang lebih besar. Jika perbuatannya melangggar undang-undang tidak diketahui oleh fiscus, maka dia akan senang karena tidak terkena sangsi dan menimbulkan keinginan untuk mengulangi perbuatannya itu lagi pada tahun-tahun berikutnya dan diperluas lagi tidak hanya pada pelanggaran undang-undang pajak, tetapi juga undang-undang yang lainnya.

c) Melalaikan Pajak
        Melalaikan pajak terjadi setelah SKP keluar. Melalaikan pajak adalah menolak membayar pajak yang telah ditetapkan dan menolak memenuhi formalitas-formalitas yang harus dipenuhi oleh wajib pajak dengan cara menghalangi penyitaan.
1.      Jika wajib pajak telah menerima SKP, maka dia harus membayar pajak sesuai dengan SKP tersebut.
2.      Jika wajib pajak tidak melakukannya, maka fiscus akan mengirim surat teguran.
3.      Jika belum dibayar juga, maka diterbitkanlah surat paksa yang kekuatannya sama dengan putusan pengadilan yang berlaku.
4.      Setelah 2 x 24 jam wajib pajak belum membayar juga, maka diterbitkan surat penyitaan yaitu surat perintah untuk melakukan penyitaan pada harta wajib pajak itu.
        Wajib pajak akan melakukan usaha untuk menghalangi penyitaan itu dengan cara kasar dan cara halus. Cara kasar: yaitu saat juru sita datang, dilepaskan anjing herder untuk mengusir juru sita tersebut. Ataupun mengancam dengan golok.

        Cara halus: yaitu dengan cara mengalihkan/ memindahtangankan semua harta wajib pajak ke tangan orang lain atau keluarganya secara pura-pura. Untuk memunculkan harta yang tersembunyi ini, maka wajib pajak disandera. Karena melalaikan pajak bukanlah perbuatan pidana, maka jika wajib pajak disandera, biaya makan dan minum ditanggung oleh Direktorat Jenderal Pajak. Sandera diberlakukan untuk orang yang berutang, baik utang publik maupun perdata (menurut HIR). Tetapi, ada edaran dari MA bahwa untuk utang perdata, orang yang berutang tidak disandera karena posisi orang yang berutang lebih lemah. Untuk utang pajak termasuk utang publik. Karena itu wajib pajak yang tidak membayar pajak akan disandera. beberapa modus operandi cara halus:
·         Pelimpahan Pajak
H. J. Hofstra, ahli hukum pajak dari Belanda, menambahkan bahwa salah satu bentuk perlawanan aktif pajak yaitu pelimpahan pajak. Hal ini biasa dilakukan oleh wajib pajak dengan melimpahkan kewajiban pajak langsungnya ke pihak lain atau pihak ke tiga. Hal ini adalah pelanggaran undang-undang karena pajak langsung dikenakan kepada wajib pajak untuk wajib pajak itu sendiri tidak boleh dilimpahkan kepada orang lain. Karena wajib pajak itu sendiri merupakan destinator.

Contoh pelimpahan pajak:

Pajak penghasilan (yang seharusnya dibayar sendiri oleh perusahaan) dilimpahkan ke dalam harga barang yang dijual ke masyarakat. Hal ini mengakibatkan harga barang menjadi lebih tinngi dari yang seharusnya. Pelimpahan pajak ini melanggar undang-undang.

·         Kompensasi Pajak
Secara Negatif
Reaksi lain sebagai gejala perlawanan terhadap pajak yaitu kompensasi pajak secara negatif. Kompensasi pajak secara negatif yaitu: melepaskan pekerjaan sampingan untuk menghindari tarif pajak yang lebih tinggi.

Contoh: A adalah seorang akuntan yang bekerja full time di sebuah perusahaan. Gaji per tahunnya Rp 40 juta. Menurut UU PPh, tarif pajaknya 25%. Setelah mempunyai pekerjaan sampingan, pendapatannya menjadi Rp 60 juta/tahun. Karena kenaikan ini, tarif pajaknya menjadi 35%. Karena terkena tarif pajak yang lebih tinggi, maka dia melepas pekerjaan sampingan tersebut.

Secara Positif
Kompensasi pajak secara positif bukan merupakan perlawanan terhadap pajak. Hal ini bahkan menguntungkan bagi kas negara.

Contoh: B adalah seorang akuntan di sebuah perusahaan dengan pendapatan Rp 40 juta/tahun. Setelah mempunyai pekerjaan sampingan, pendapatannya menjadi Rp 60 juta/tahun. Namun, dia tetap mengambil pekerjaan itu walaupun tarif pajaknya naik karena berpikir bahwa pendapataqnnya juga meningkat.